Ini, untuk kesekian kalinya aku harus mengantarkan orang tua masuk rumah sakit. Malam itu UGD sedikit lain dari biasanya. Biasanya aku hanya mendapatkan 2-3 pasien di UGD, kali ini penuh, bahkan ruang bertiraipun sudah tidak cukup. Aku langsung teringat dokter Leonardo yang sedang ‘mencari ilmu di UGD’. (Begini ya dok, kalau sedang sibuk.)
Para suster dan dokter jaga sibuk mondar mandir. Isian regristasi terlihat di’antri’ di atas meja. Belum lagi kewajiban mengukur suhu badan dan tekanan darah, membuat hiruk pikuk ruang UGD. Tak ketinggalan keluarga dari pasien yang sedang menunggu tindakan. Seperti biasa, tidak cukup hanya satu orang pengantar mengantar si sakit.
“Wah, bakal lama,” pikirku. Sementara mama sudah merasa kedinginan dan gelisah karena merasa tidak ada dokter yang menolong. Sementara erangan sakit dan kegelisan terdengar, keluhan; baik dari sipasien maupun pengantar, terdengar dalam pembicaraan mereka.
Tiba giliran dokter memeriksa mama. Dokter bertanya kepada kami dan memberi petunjuk kepada suster untuk memberi tindakan pertama (memberi obat dan infus), kemudian memutuskan untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap serta menganjurkan untuk opname. Kamipun menyetujui. Membawa surat pengantar, aku pergi ke ruang registrasi rawat inap. O…o, ternyata disanapun antri.
Aku menunggu giliranku, sambil mendengar percakapan antara keluarga pasien dan petugas registrasi. Ternyata kamar yang isinya lebih dari satu orang untuk pasien pria sudah penuh. Dengan penuh harap bahwa sipasien bisa diterima, sang keluarga bercerita bahwa sudah turun temurun mereka menggunakan jasa rumah sakit itu, bahkan sicalon pasien lahir disitu. Wah, ini yang dinamakan serba salah, orang sakit kok ditolak tapi kamar sudah penuh. Akupun menyadari, ini yang orang katakan, “lari-lari cari rumah sakit”. “Semoga masih ada kamar untuk mama,” pikirku.
Aku segera dilayani. Kuisi formulir, kupilih kamar yang kuinginkan, kuserahkan semua itu kepada petugas. Dan…yah…, ucapan pertama yang kudengar adalah berita bahwa kamar yang diinginkan penuh. Satu level ke bawah dan satu level ke atas penuh juga. Ada 3 level di atasnya, dengan pasrah aku jawab ‘iya’, tapi tolong diantrikan untuk kamar yang kuinginkan. Kamar termurah Rp. 75.000,- dan kamar termahal Rp. 1.125.000,- permalam. Tak terbayang kalau aku harus pindah rumah sakit. Lebih tidak terbayang lagi jika harus berganti dokter. Dokter yang sudah mengetahui sejarah penyakit mama bahkan sudah seperti dokter keluarga. Terkadang aku tinggal menelepon atau sms untuk minta ‘nasihat’ jika ada sesuatu yang perlu dikonsultasikan dengan beliau.
Setelah selesai administrasi, aku kembali ke ruang UGD untuk membayar uang muka (pada malam hari, hanya kasir UGD yang buka). Setelah selesai membayar kuserahkan semua berkas ke suster yang bertugas. Susterpun bertanya, mau pakai dokter siapa? Kusebutkan nama dokter yang biasa merawat mama. Loh, terkejut aku dibuatnya ketika mendengar jawaban si suster, “Tidak bisa bu, karena rujukannya dokter penyakit dalam. Sedang dokter mamanya adalah neurolog.” Kuminta agar dokternya mama jadi dokter utama, biarlah dia yang memilih ‘tim’nya. Setelah ngotot-ngototan terjadi, akhirnya aku mengalah, daripada tidak masuk-masuk kamar, kupilih salah satu dokter penyakit dalam.
Proses selanjutnya, jika hasil laboratorium sudah selesai dokter jaga akan menelepon dokter yang telah dirujuk untuk melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan sebelum masuk kamar. Kami kembali dalam penantian.
Kuperhatikan orang-orang di sekitarku, rata-rata mereka sudah membawa ‘gembolan’, alias sudah siap jika si pasien harus rawat inap. Untuk para sepuh yang mempunyai penyakit-penyakit tertentu, pihak keluarga sudah hafal dengan obat yang diberikan atau siap dengan daftar obat jika ditanya oleh dokter. Sedangkan untuk pasien-pasien yang hanya memerlukan bantuan pertama, diberi pertolongan tindakan untuk kemudian diobservasi, jika sudah baikan maka dipersilahkan pulang. Jika tidak ada perbaikan, maka kemungkinan besar akan dirujuk rawat inap.
Sedang asyik melihat-lihat, tiba-tiba pintu UGD terbuka, terlihat seorang wanita muda mengalami kesulitan bernafas. Keluarganya terlihat panik. “Kenapa?” pikirku. Adikku berbisik, “sepertinya kalau tidak asma, alergi.” Berhubung yang masuk bersamaan ada 3 pasien, dokter jagapun melihat-lihat keadaan para pasien sebelum memutuskan siapa yang harus didahulukan.
Wanita muda itu akhirnya mendapat prioritas. Dari pembicaraan yang sepintas terdengar, rupanya wanita itu kena alergi kemudian nimum insidal (obat anti algergi), ternyata tidak manjur. Sampai terjadi kesulitan bernafas seperti itu. Ternyata alergi saja bisa sampai masuk UGD.
Jam sudah menunjukkan pukul 00 lewat sekian menit ketika suster dan petugas UGD masuk ke bilik kami. “Mari, sudah siap untuk ke kamar, dari hasil laboratorium, mamanya tidak perlu tindakan lebih lanjut.” Bersamaan itu juga suster mengatakan bahwa dokter utamanya jadi dokternya mama, bukan dokter penyakit dalam yang kupilih. Terlepas dari apa yang terjadi di belakang layar sehingga keputusan itu berubah, aku merasa lega.
Sebelum petugas mendorong tempat tidur mama, masih kudengar dari bilik sebelah…dokternya lama amat sih… Itulah UGD, buat yang menanti rasanya lama, buat para petugas rasanya sudah bekerja dengan kecepatan tinggi. Yang pasti malam itu aku mendapat ‘ilmu’ lagi, jangan meremehkan alergi.
Recent Comments